Hj. Dinda Fatmah, S.Ag., M.Pd.I.

PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN KECIL BAGI PEREMPUAN GUNA MENANGGULANGI KEMISKINAN, Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Bisnis (EMAS), Vol.3, No.1, Desember 2009

PEMBERDAYAAN  USAHA MIKRO DAN KECIL  BAGI PEREMPUAN GUNA MENANGGULANGI KEMISKINAN

Dinda Fatmah

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Al-Anwar Mojokerto

 

Abstract

Keuletan usaha mikro dan kecil  sudah teruji. Kita sudah melihat daya tahannya pada situasi ekonomi yang paling sulit sekalipun beberapa tahun lalu. Justru pada tingkat usaha mikro dan kecil  banyak timbul kreasi baru dan produk inovasi untuk tetap bertahan hidup. Tujuan utama agar tetap bertahan hidup itu yang perlu diacungi jempol oleh kita semua termasuk pemerintah karena hal tersebut memberitahu bahwa masyarakat pada tingkat usaha mikro dan kecil  tersebut kuat dan tahan banting. Namun demikian mereka tetap masih perlu dukungan dari berbagai permasalahan baik tehnik maupun operasional, mengingat terbatasnya kemampuan, terutama bagi pengusaha perempuan

Kata Kunci : Pemberdayaan Perempuan, Usaha Mikro dan Kecil, Kemiskinan

 

 

Pendahuluan

Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit. 

Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat  untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.

Kondisi ini menjadi indikator bahwa masyarakat banyak belum berperan sebagai subyek dalam pembangunan. Menjadikan rakyat sebagai subyek pembangunan adalah memberikan hak-haknya untuk berpartisipasi dalam pembentukan dan pembangian produksi nasional. Untuk sampai pada tujuan tersebut, rakyat perlu dibekali modal material dan mental. Indikator ini juga telah menginspirasikan perlunya pemberdayaaan ekonomi rakyat yang kemudian berkembang menjadi isu untuk membangun sistem perekonomian yang bercorak kerakyatan.

Berbagai pendapat dan harapan terus berkembang seiring dengan berjalannya era reformasi, namun demikian usaha untuk menggerakan ekonomi rakyat yang terutama bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran belum juga dapat terwujud. Kondisi seperti itu menyebabkan sebagian orang menjadi pesimis, bahkan apatis tentang kesungguhan berbagai rezim pemerintahan untuk menjadikan kemajuan ekonomi kaum papa sebagai indikator keberhasilan pembangunan nasional. Yang terlihat bahkan sebaliknya sebagian orang masih sangat mendewakan pertumbuhan sebagai indicator keberhasilan pembangunan, walaupun kenyataan selama empat dekade terakhir menunjukkan bahwa dengan semakin besar pertumbuhan juga semakin memperbesar kesenjangan. Solusi yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini pengembangan usaha mikro dan kecil , dalam meningkatkan pembangunan Indonesia usaha mikro dan kecil  yang sangat berperan.

Dari beberapa informasi diatas bahwa, berkembangnya usaha mikro sebetulnya sudah lama terjadi, tetapi pascakrisis ekonomi terjadi lonjakan jumlah dan variasi jenis usaha serta serapan tenaga kerja pada sektor tersebut. Krisis memperlihatkan kemampuan sector-sektor ini untuk bertahan di tengah kondisi ekonomi dan politik. Di tengah krisis berkepanjangan ini, usaha mikro memberikan harapan bagi kelompok miskin untuk dapat mempertahankan kelangsungan kehidupannya. Namun demikian, bersama harapan itu masih banyak masalah yang menghambat kelangsungan usaha. Khusus bagi perempuan, hambatan ini tidak saja dari sisi usaha tetapi juga dari relasi gender yang sudah mentradisi.

Usaha mikro sangat dekat dengan perempuan. Di satu sisi hal ini memberikan peluang bagi perempuan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan produktif, tetapi, kebanyakan usaha mikro yang melibatkan perempuan di dalamnya kebanyakan bersifat subsisten. Penghasilan yang diperoleh dari usaha mikro seperti ini sebagian besar habis untuk konsumsi keluarga sehari-hari. Dalam kasus ini, usaha mikro tidak dapat dipandang sebagai bagian dari capaian pembangunan, tetapi sebagai alat potensial untuk menghasilkan pendapatan dan kesejahteraan.

KONSEP DAN INDIKATOR KEMISKINAN

Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.

BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.

Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan.

Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi.

Indikator-indikator tersbut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat oleh BAPPENAS berikut ini;

Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi;  jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin;
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas,  tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;
Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga;
Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;
Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;
Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;
Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;
Lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik;
Lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;
Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata‑rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.

 

KONSEP PEMBERDAYAAN

Pemberdayaan adalah terjemahan dari kata empowerment, yang berasal dari kata empower yang mengandung dua pengertian: (i) to give power to (memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas pada pihak lain). (ii) to give abilty to, enable (usaha untuk memberi kemampuan) (Oxfort English Dictionary). Pemberdayaan berasal dari kata daya yang berarti kekuatan atau kemampuan. Berdaya suatu kondisi atau keadaan yang mendukung adanya kekuatan atau kemampuan.

 Secara tersirat, makna tersebut menyatakan bahwa konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industri yang kurang memihak pada rakyat mayoritas.

Pemberdayaan adalah suatu upaya meningkatkan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh suatu masyarakat sehingga mereka dapat mengaktualisasikan jati diri, hasrat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan dan mengembangkan diri secara mandiri.

   Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat terlepas dari perangkap kemiskinan maupun keterbelakangan. Dengan demikian pemberdayaan dapat dikatakan sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat, baik dibidang ekonomi, sosial budaya dan politik.

Pemberdayaan masyarakat (Community Empowerment) adalah perwujudan capacity building masyarakat yang bernuansa padapemberdayaan sumberdaya manusia melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat pedesaan seiring dengan pembangunan sistem sosial ekonomi rakyat, prasarana dan sarana, serta pengembangan Tiga-P; pendampingan yang dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat, penyuluhan dapat merespon dan memantau ubahan-ubahan yang terjadi di masyarakat dan pelayanan yang berfungsi sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset sumberdaya fisik dan non fisik yang diperlukan masyarakat. (Vitayala, 2000).

Khan (1992 : 44) mengemukakan bahwa pemberdayaan merupakan hubungan antar personel yang berkelanjutan untuk membangun kepercayaan antara karyawan dan manajemen antara masyarakat dan pemerintah, sedangkan menurut Byars dan Rue (1997) mengemukakan bahwa pemberdayaan merupakan bentuk desentralisasi yang melibatkan pemberian tanggung jawab pada bawahan dalam membuat keputusan.

Pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya memiliki dua makna pokok, yakni :

Meningkatkan kemampuan masyarakat (to give ability or enable) melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program pembangunan agar kondisi kehidupan masyarakat dapat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan.
Meningkatkan kemandirian masyarakat melalui pemberian wewenang secara proporsional kepada masyarakat dalam pengambilan keputusan (to give authority) dalam rangka membangun diri dan lingkungannya secara mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat berarti memampukan dan memandirikan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu strategi dalam pembangunan nasional berorientasi pada pemberian kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk dapat ikut serta dalam proses pembangunan dengan mendapatkan kesempatan yang sama dan dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara proporsional.

Upaya pemberdayaan di bidang ekonomi berarti menyangkut upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan hidup yang bertumpu pada kekuatan ekonomi sendiri sehingga masyarakat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri secara mandiri.

Di bidang sosial budaya berarti menyangkut upaya kehidupan sosial yang berakar pada nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat sehingga mereka tidak tercerabut dari akar budaya yang telah melingkupi kehidupan mereka selama ini sedangakan di Bidang Politik berarti menyangkut upaya peningkatan kemampuan dan pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil keputusan sendiri melalui proses perencanaan sampai dengan pemantauan dan evaluasi berbagai program pembangunan yang mereka laksanakan.

Dengan demikian, konsep pemberdayaan bukan hanya menyangkut persoalan ekonomi tetapi merupakan konsep yang menyangkut semua aspek kehidupan. Ke-semua aspek kehidupan itu haruslah diberdayakan secara bersamaan dan integrative dan pemberdayaan ekonomi harus pula disertai dengan pemberdayaan sosial budaya dan politik, begitu pula sebaliknya.

Dari definisi tersebut dapat diambil beberapa hal penting tentang pengertian pemberdayaan yang berkaitan dengan pemberdayaan industri kecil, yakni meliputi :

Pemberian tanggung jawab dan wewenang kepada pengusaha industri kecil
Meniciptakan kondisi saling percaya antar pemerintah dan pengusaha industri kecil
Adanya employee invlopment yaitu melibatkan pengusaha industri kecil dalam pengambilan keputusan.

 Hal ini diyakini sebagai strategi yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemampuan ekonomi serta ketahanan nasional. Namun keyakinan tersebut menuntut adanya penerjemahan dalam model dan bentuk program-program serta kegiatan-kegiatan usaha nyata.

Khan (1997 : 57) menyatakaan bahwa, sebuah model pemberdayaan yang dapat dikembangkan dalam sebuah organisasi untuk menjamin keberhasilan proses pemberdayaan organisasi meliputi yaitu : 1. Desire 2. Trust 3. Confident 4. Credibility

5. Accountability 6. Communication. 

Khan (1997 : 57) menawarkan sebuah model pemberdayaan yang dapat dikembangkan dalam sebuah organisasi untuk menjamin keberhasilan proses pemberdayaan organisasi sebagaimana digambarkan berikut ini :

1. Desire

Pemberdayaan tahap pertama adalah tahap desire (pendelegasian) yaitu dimana adanya pendelegasian dari pihak manajemen dalam hal ini pemerintah untuk mendelegasikan dan melibatkan masyarakat (pengusaha usaha mikro dan kecil ), hal ini antara lain: 

a) Pengusaha usaha mikro dan kecil  diberi kesempatan untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang berkembang

b) Pemerintah memperkecill directive personality dan memperluas keterlibatan pengusaha usaha mikro dan kecil .

c) Pemerintah mendorong terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali strategi kerja

d) Pemerintah mengembangkan keahlian dan melatih pengusaha usaha mikro dan kecil  untuk mengawasi sendiri (self control).

2. Trust

Tahap kedua adalah tahap trust (membangun kepercayaan) yaitu dimana adanya keinginan dari manajemen dalam hal ini pemerintah untuk membangun kepercayaan antara pemerintah dan pengusaha usaha mikro dan kecil . Adanya saling percaya diantara pemerintah dan pengusaha usaha mikro dan kecil  agar tercipta kondisi yang baik untuk pertukaran informasi dan saran tanpa adanya rasa takut. Tindakan yang termasuk dalam tahap ini antara lain:

a. Pemerintah memberi kesempatan atas penggunaan sumber daya yang mencukupi bagi pengusaha usaha mikro dan kecil .

b. Pemerintah menyediakan waktu dan sumber daya yang mencukupi bagi pengusaha usaha mikro dan kecil  dalam menyelesaikan pekerkerjaannya.

c. Pemerintah menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan pengusaha usaha mikro dan kecil .

d. Pemerintah menyediakan akses informasi yang cukup

 3. Confident

Tahap ketiga adalah tahap confident (saling percaya) yaitu dimana adanya tindakan yang dapat menimbulkan rasa saling percaya diantara pemerintah dan pengusaha usaha mikro dan kecil  dengan menghargai terhadap kemampuan yang dimiliki oleh pengusaha usaha mikro dan kecil . Tindakan yang termasuk dapat menimbulkan confident antara lain:

a. Pemerintah mendelegasikan tugas kepada pengusaha usaha mikro dan kecil . 

b. Pemerintah menggali ide dan saran dari pengusaha usaha mikro dan kecil .

c. Pemerintah memperluas tugas dan membangun jaringan dengan pengusaha usaha mikro dan kecil .

d. Pemerintah menyediakan jadwal pelatihan dan mendorong penyelesaian yang baik. 

4. Credibility

Tahap keempat adalah tahap credibility yaitu dimana ada keinginan dari pihak manajemen dalam hal ini pemerintah untuk menjaga kredibilitas dengan cara pemberian penghargaan dan pengembangan usaha yang mendorong menjadi usaha menengah bahkan besar, yang termasuk dalam tindakan ini antara lain:

a. Pemerintah memandang pengusaha usaha mikro dan kecil  sebagai partner yang sangat strategis dalam mengembangkan pembangunan nasional.

b. Pemerintah memperkenalkan inisiatif pengusaha usaha mikro dan kecil  untuk melakukan perubahan melalui partisipasinya.

c. Pemerintah membantu menyelesaikan perbedaan dalam penentuan tujuan dan prioritas.

 5. Accountability

Tahap kelima adalah tahap accountability yaitu dimana adanya keinginan dari pihak manajemen dalam hal ini pemerintah untuk meminta pertanggung jawaban pengusaha usaha mikro dan kecil , hal ini sebagai sarana evaluasi terhadap prestasi kerja pengusaha usaha mikro dan kecil  dalam menyelesaikan dan tanggung jawab terhadap wewenang yang diberikan, yang termasuk accountability, antara lain:

a. Pemerintah menggunakan jalur training dalam mengevaluasi prestasi pengusaha usaha mikro dan kecil .

b. Pemerintah memberikan saran dan bantuan kepada pengusaha usaha mikro dan kecil  dalam menjalankan usahanya

c. Pemerintah menyediakan periode dan waktu pemberian feedback atau menambah bantuan.

6. Communication

Tahap keenam adalah tahap communication yaitu dimana adanya kegiatan dari pihak manajemen dalam hal ini pemerintah untuk mengadakan komunikasi yang saling terbuka untuk menciptakan suatu keadaan yang saling memahami antara pengusaha usaha mikro dan kecil  dan pemerintah. Keterbukaan ini dapat diwujudkan dengan adanya kritik dan saran terhadap hasil dan prestasi yang dilakukan pengusaha usaha mikro dan kecil , yang termasuk communication, antara lain:

a. Pemerintah menetapkan kebijakan open door communication.

b. Pemerintah menyediakan waktu untuk mendapatkan informasi dan mendiskusikan permasalahan secara terbuka.

c. Pemerintah menciptakan kesempatan untuk corss-training.

Model tersebut di atas menggambarkan bahwa sebuah pemberdayaan merupakan serangkaian proses yang dilakukan secara bertahap dalam organisasi atau pemerintah agar dapat dicapai secara optimal dalam membangun kesadaran dari pengusaha usaha mikro dan kecil  akan pentingnya proses pemberdayaan, sehingga perlu adanya komitmen dari pemerintah dan pengusaha usaha mikro dan kecil .

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan usaha mikro dan kecil  adalah upaya yang dilakukan untuk memberikan kemampuan menjalankan usaha kepada usaha mikro dan kecil  melalui distribusi penguasaan faktor-faktor produksi melalui kebijakan politik ekonomi yang tepat dengan kondisi dan tingkatan sosial budaya, dan yang pada akhirnya akan meningkatkan keberhasilan usaha mikro dan kecil .

PERLUNYA MELAKUKAN PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN USAHA MIKRO DAN KECIL BAGI PEREMPUAN

Sebenarnya usaha mikro dan kecil  dapat berkembang lebih baik jika ada dukungan yang memadai. Potensi mereka dalam berbagai jenis kegiatan usaha dapat berkembang sebagai usaha mikro dan kecil  yang Independen, langsung berinteraksi dengan pasar maupun dalam pola sub kontrak dari usaha yang lebih besar. Usaha mikro dan kecil  bahkan berpotensi menjadi usaha mikro dan kecil  yang modern dan kompetitif, baik di pasar domestik maupun internasional. Meskipun tidak dipungkiri bahwa usaha mikro dan kecil  menghadapi berbagai permasalahan yang menghambat perkembangannya.

Menurut Sasono (2001, 67), permasalahan mendasar dan utama bagi perkembangan usaha mikro dan kecil  dapat juga ditinjau dari aspek eksternal dan internal. Faktor eksternal yang menjadi pokok persoalan pengembangan usaha mikro dan kecil  adalah:

Pertama, terbatasnya pengakuan dan jaminan keberadaan usaha mikro dan kecil . Dalam praktiknya, usaha mikro dan kecil  tidak mendapatkan perhatian yang memadai karena kuatnya anggapan bahwa perkembangan perekonomian nasional terutama ditentukan oleh perusahaan berskala besar. Pandangan ini tidak tepat karena perusahaan berskala besar memang berperan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi, tetapi pertumbuhannya tidak akan berkesinambungan jika tidak didukung oleh ketangguhan usaha menengah dan kecil.

Kedua, kesulitan untuk mendapatkan data yang jelas dan pasti tentang jumlah dan penyebaran usaha mikro dan kecil . Seringkali keterbatasan dukungan data dan penyebaran usaha mikro dan kecil  menghambat upaya pembinaan dan pengembangannya. Meskipun perhatian terhadap usaha mikro dan kecil  telah banyak diberikan baik oleh swasta, pemerintah maupun masyarakat, sampai kini belum dilakukan secara terpadu. Bahkan, terkesan jalan sendiri- sendiri.

Ketiga, alokasi kredit sebagai aspek pembiayaan (pendanaan) masih sangat timpang, baik antar golongan, antar sektor, antar wilayah dan antar desa-kota. Kecuali itu, berbagai hambatan birokratis yang tidak biasa dihadapi oleh pengusaha mikro dan kecil  dalam memperoleh kredit telah mempersulit usaha mikro dan kecil  untuk berkembang. Karena itu, tanpa melanggar asas perkreditan yang sehat, persyaratan untuk memperoleh kredit perlu disederhanakan. Selain itu bank juga sering tidak mampu menjangkau keberadaan usaha mikro dan kecil  yang menyebar sangat luas. Bangunan bank yang megah serta keberadaannya yang paling rendah ditingkat Kabupaten, membuat ciut nyali para usahawan kecil. Maka, perlu dicarikan alternatif berupa lembaga keuangan lain yang dekat dengan kondisi masyarakat di tingkat bawah. Seringkali terjadi program untuk pengembangan usaha mikro dan kecil  disalah gunakan bagi kegiatan usaha lainnya.

Keempat, sebagian besar prodak usaha mikro dan kecil  memiliki ciri dan karakteristik sebagai produk-produk fashion dan kerajinan dengan life time yang pendek. Karena itu, seiring dengan perkembangan selera konsumen, inovasi desain-desain produk yang sesuai dengan selera konsumen sangat diperlukan dalam periode yang cepat. Keterlambatan mengantisipasi keinginan pasar ini menghambat daya dukung perkembangan ekonomi. 

Kelima, rendahnya nilai tukar komoditi yang dihasilkan usaha rakyat. Produk industri rakyat selalu dinilai berkualitas rendah. Ini adalah pandangan keliru karena belum tentu pola produksi tradisional akan menghasilkan produk yang bermutu rendah. Banyak sekali produk industri kerajinan rakyat yang mampu bersaing di pasar ekspor.

Keenam, terbatasnya akses pada pasar. Permasalahan akses pada pasar ini semakin sulit dengan meluasnya jangkauan modal besar domestik maupun asing yang menerobos segmentasi pasar yang sebelumnya dikuasai oleh unit usaha mikro dan kecil .

Ketujuh, adanya pungutan-pungutan atau biaya siluman yang tidak proporsional. Ketidak pastian birokrasi, utamanya yang berhubungan langsung dengan usaha mikro dan kecil  dan menengah, seringkali menimbulkan permasalahan dalam pengembangan usaha mikro dan kecil . Karena itu, birokrasi pengurusan berbagai surat yang terkait dengan usaha mikro dan kecil , baik berupa izin usaha maupun penerbitan NPWP, SIUP, SPPT, dan bermacam surat yang lain, harus dirampingkan.

Kedelapan, krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang menimpa Indonesia kini berpengaruh cukup serius terhadap perkembangan perekonomian rakyat. Jatuhnya usaha besar yang berakibat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan naiknya pengangguran, serta turunnya daya beli masyarakat, telah memposisikan usaha mikro dan kecil  sebagai penampung beban krisis yaitu banyak orang yang kemudian berusaha di sektor ini. Keadaan ini menandakan bahwa usaha mikro dan kecil  mampu menjadi penahan dalam krisis, namun disisi yang lain, usaha mikro dan kecil  makin kompetitif. Ironisnya, dalam kondisi biasa (normal), usaha mikro dan kecil  tidak banyak mendapatkan perhatian.

Kesembilan. Usaha mikro sangat dekat dengan perempuan. Di satu sisi hal ini memberikan peluang bagi perempuan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan produktif, tetapi, kebanyakan usaha mikro yang melibatkan perempuan di dalamnya kebanyakan bersifat subsisten. Penghasilan yang diperoleh dari usaha mikro seperti ini sebagian besar habis untuk konsumsi keluarga sehari-hari. Dalam kasus ini, usaha mikro tidak dapat dipandang sebagai bagian dari capaian pembangunan, tetapi sebagai alat potensial untuk menghasilkan pendapatan dan kesejahteraan

Adapun masalah internal yang menghambat berkembangnya ekonomi rakyat adalah:

Pertama, terbatasnya penguasaan dan pemilikan asset produksi, terutama permodalan. Walaupun faktor modal seringkali dapat diatasi, misalnya dalam bentuk pinjaman yang berlaku secara tradisional dengan kerabat, teman atau tetangga, namun dalam tingkat persaingan dan ekspansi, permodalan sering menjadi penghambat utama.

Kedua, rendahnya kemampuan sumber daya manusia, termasuk rendahnya tingkat keterampilan, yang meliputi keterampilan teknik produksi dan manajemen usaha. Rendahnya sumber daya manusia ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan para pekerja. Hal ini berakibat tidak kompetitifnya komoditi usaha mikro dan kecil  di pasar ekspor. Penyebabnya bahan baku yang selain mahal, juga penaganannya tidak efisien, serta pengendalian persediaan dan kualitasnya tidak optimal. Tenaga kerja yang digunakan tidak terampil, sehingga produk banyak yang terbuang (waste). Mutu SDM yang rendah ini berakibat pula pada tingkat persaingan yang sangat ketat karena tidak adanya hambatan masuk (entry barriers) bagi siapa saja.

Ketiga, ditinjau dari konsentrasi sumber daya ekonomi rakyat (pekerja), pengembangan ekonomi rakyat di daerah pedesaan, pada sektor pertanian. Padahal sektor yang lain membuka kesempatan yang luas, misalnya sebagai sub kontraktor sektor industri, perdagangan dan jasa. Perluasan sektor ekonomi rakyat ini juga membuat proses peningkatan usaha lebih besar dan luas, khususnya dalam bentuk jaringan usaha. Hal ini akan merangsang pertumbuhan usaha rakyat dalam jumlah dan kualitas yang lebih besar dan lebih baik.

Keempat, kelembagaan usaha rakyat belum berperan secara optimal dalam memfasilitasi kegiatan ekonomi rakyat faktor yang menghambat hubungan antar usaha mikro dan kecil  biasanya adalah keengganan mendapatkan keuntungan kecil. Pandangan demikian tidak selamanya benar karena banyak kerjasama yang meningkatkan peran secara kolektif. Karena itu, fungsi kelembagaan yang dikembangkan dalam bentuk jaringan kerja sama patut mendapat perhatian.

Dari semua hambatan di atas, baik pemerintah maupun masyarakat  perlu melakukan pemberdayaan usaha mikro dan kecil  karena usaha mikro dan kecil  pada dasarnya memiliki potensi untuk berkembang. Terbukti usaha mikro dan kecil  merupakan katup pengaman yang paling tangguh dalam meredam berbagai gejolak ekonomi yang terjadi kini terutama pada saat ekonomi tertimpa dalam hubangan krisis ekonomi yang mengenaskan. Ketika usaha besar porak-poranda di hantam badai ekonomi, usaha mikro dan kecil  masih bisa memutar roda usahanya. Tentu saja, ketika krisis berlarut-larut seperti saat ini, luar biasa bagi sektor informal dan usaha mikro dan kecil  untuk berkembang.

kesimpulan

Potensi usaha mikro dan kecil  di Indonesia memiliki peluang yang sangat besar dan menjanjikan. Dengan potensi pasar baik dalam dan luar negeri, usaha mikro dan kecil  ini dapat mendongkrak PDB. Pengembangan sektor usaha mikro dan kecil  ini tidak terlepas dari berbagai hal yang terkait mulai dari ketersediaan bahan baku sampai dengan mekanisme pemasaran yang memerlukan bantuan dari berbagai instansi uantuk pengembangannya. Oleh karena itu diharapkan Pemerintah dapat tanggap melalui pembuatan kebijakan-kebijakan daerah yang akan mendukung sektor usaha mikro dan kecil  ini.

Hal lainnya adalah tenaga kerja, khusus pada pemberdayaan perempuan yang terlibat dalam usaha mikro dan kecil  , yang ternyata keterlibatan perempuan pada kewirausahaan usaha mikro dan kecil cukup membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi rumah tangganya. Sehingga diharapkan pemberdayaan perempuan pada usaha mikro dan kecil  ini akan terus berkembang pada sektor lainnya.

Saran

Peran Pemerintah sangat diharapkan melalui pemberlakuan kebijakan yang mendukung pengembangan usaha mikro dan kecil khususnya bagi pengusaha perempuan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

BAPPENAS (2004)

Byars, L.L, and Rue, L.W. 1997. Human Resources Management. Ricard D. Irwin Inc. Illinois.

Khan, Sharafat, 1997. The Key to Being a Leader Company, Empowerment. Jornal Personality and Partisipation, Jan-Feb.

Sasono, Adi, 2001. Persoalan Ekonomi Rakyat, Equilibrium Jurnal Ekonomi dan Kemasyarakatan vol 2 no. 1 Januari - April 2004

Vitayala, Aida., 2000 Tantangan dan Prospek Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Otonomi Daerah, dalam Proseeding Seminar Pemberdayaan Manusia Menuju Masyarakat Madani. Bogor, 25-26 September 2000.